By : abdul rohim
Tgl. 23/6/2013
Ketika hadir tanggal dan bulan yang sama
dihari kelahiran, kita menyebutnya sebagai ulang tahun. Banyak cara dalam
masyarakat kita dalam merayakannya. Ada yang tiup lilin, potong tumpeng, memberikan makanan ke tetangga, memberikan
kado dan lain sebagai nya. Tapi ada juga masyarakat yang tidak begitu
memperdulikan nya, menganggap masa bodoh terhadap apa yang terjadi dengan
putaran waktu tersebut. Sebagian orang-orang tua jaman dulu bahkan tidak tau
berapa tanggal dan bulan kelahirannya.
Bagi sebagian orang memang mengganggap penting
perayaan ulang tahun itu. Bisa dikatakan juga bahwa indikator mencintai dan
menyayangi itu diantaranya selalu ingat tanggal lahirnya. Kalau tidak percaya,
coba saja tanyakan pada remaja kita. Mereka begitu hafal diluar kepala tanggal
lahir ‘pacar’ nya ataupun hari jadi saling mencintai nya.
Yang lucu bagi saya, pengalaman ketika dulu
mengajar di sekolah, bentuk kasih sayang seorang teman kepada teman lainnya
yaitu bila ada temannya yang ulang tahun, setelah bunyi bel sekolah pulang,
mereka menyiram temannya yang ulang tahun itu dengan air dicampur dengan
pewarna baju. Otomatis, dia pulang dalam keadaan basah kuyup dan baju kotor.
Entah darimana mulainya budaya tersebut, tapi
sepertinya sudah membudaya dikalangan anak-anak sekolah yang beranjak dewasa
karena kejadian tersebut tidak sekali dua kali saya temui disatu sekolah saja,
akan tetapi dibeberapa sekolah sering saya melihat kejadian tersebut.
Menurut saya, inilah budaya perayaan ulang
tahun yang berlebihan. Tidak ada manfaat yang bisa diambil. Keluar dari konteks
tujuan ulang tahun.
Setiap ulang tahun, -saya sendiri- tidak
diajarkan oleh orang tua untuk merayakan nya. Setiap ulang tahun, tidak ada
ritual-ritual khusus yang orang tua ataupun saya lakukan. Tidak ada kado, tidak
ada ucapan selamat, tidak ada tumpeng.
Bisa dikatakan berlalu begitu saja.
Karena perkembangan teknologi begitu cepat,
yang memudahkan setiap orang berinteraksi dengan lainnya, hari ulang tahun di
ingatkan oleh dunia maya. Dalam jejaring sosial misalnya, kita selalu di
ingatkan ulang tahun teman kita. Dari situ,teman yang peduli untuk mengucapkan selamat atau
do’a bisa mengatakan nya lewat tulisan. Lewat jejaring sosial ini, setiap ulang
tahun, sekarang saya sering di do’akan. Alhamdulillah, terima kasih untuk
do’anya.
Saya sebenarnya kurang sepakat dengan ucapan
selamat, karena bukan kah umur kita yang berkurang? Bagaimana jadinya kalau
dengan mencapai umur tersebut yang kita lakukan hanya perbuatan yang sia-sia
saja? Bukankah itu berarti mengandung makna selamat atas perbuatan sia-sia mu
selama ini?.
Bolehlah kalau kita barengi dengan do’a. Misal
mendo’akan supaya umurnya tambah berkah. Karena seyogyanya angka umur kita
bukanlah patokan eksistensi kita didunia ini. Eksistensi kita diakui, bila kita
hidup dengan keberkahan. Hidup yang berkah adalah hidup dimana selalu
bertambahnya kebaikan bagi dirinya dan berimplikasi kepada orang lain .
‘ziyadatul Khoir ‘ala ghoir’ begitu ulama mendefinisikan berkah.
Sampai disini, saya di ingatkan dengan angka
nominal umur saya dan eksisitensi hidup saya selama ini. Angka nominal umur saya sekarang sudah mencapai
kepala tiga, selama ini, apakah hidup saya berkah? Itulah pertanyaan yang
menggelayuti saya, apalagi memasuki kepala tiga ini bertepatan dengan malam
nisfu sya’ban, malam dimana ditutupnya buku amal kita, dan dibuka kembali
lembaran baru buku amal kita.
Kepala tiga, orang-orang sering mengatakan
telah memasuki pada fase pertengahan
hidup bila kita korelasikan dengan hidupnya nabi kita. Dalam dunia kerja pun
seperti itu, Bila saya pensiun umur 60 tahun, berarti tersisa 30 tahunan lagi
masa kerja saya. Itu hitung-hitungan matematika. Kalau hitung-hitungan Tuhan
tiada seorang mahluk pun yang tahu. Untuk mengingatkan, Imam Al-ghozali pernah mengungkapkan bahwa
yang terdekat dalam kehidupan ini adalah kematian.
Bertambahnya nominal angka umur kita, berarti
menandakan berkurangnya umur hidup kita di dunia. Berarti juga kematian semakin
dekat. Dari sinilah, setiap berulangnya tahun kita selaiknya berdo’a bahwa
dengan sisa umur ini semakin bertambah berkah.
Kalau dipikir, Sulit juga untuk mencapai visi
hidup berkah ini. Darimana saya harus mulai? Apa saja yang harus saya siapkan?
Apa saja yang harus saya lakukan? Indikator pencapaiannya seperti apa? Dan
banyak pertanyaan lainnya. Tapi kalau ingin ‘simpel’, tidak perlu pusing-pusing, biarlah mengalir seperti air.
Ah, filosofi air yang bagi saya kurang ‘sreg’ di hati. Syukur kalau air nya
tidak menghanyutkan atau mengalir pada muara yang benar, kalau sebaliknya,
bagaimana? Bisa- bisa kita telah mendzolimi kepercayaan tuhan kepada kita.
Saya jadi ingat kisah seorang pemuda yang
ingin merubah dunia, namun dengan bertambahnya hari, sampai uban tumbuh, dan
tubuhpun tidak bisa berdiri tegak, apa yang
ia cita-citakan tak kunjung kesampaian. Sampai berkali-kali ia harus
menurunkan ‘grade’ cita-citanya, merubah negara, merubah propinsi, merubah
kabupaten, merubah desa, merubah RW sampai merubah RT. Pemuda ini, tidak bisa
merubah apa-apa, tidak bisa memberikan apa-apa. Sampai pada posisi dimana dia
tidak bisa apa-apa lagi. Barulah dalam kontemplasi nya dia tersadar, bahwa
sebenarnya kegagalan yang ia dapatkan karena dia dulu tidak mau merubah
dirinya.
Kalau kita interpretasikan kisah pemuda
diatas, bagaimana mungkin dia mampu merubah dunia, kalau sekolah saja tidak
pernah, pendidikan dianggap sesuatu yang tidak penting, belajar juga tidak mau.
Keinginan yang besar namun proses dia tinggalkan. Bermimpi namun tidak berbuat
dalam realitas kehidupan.
Merubah diri , Disinilah mungkin saya harus mulai,
Untuk terus merubah diri agar lebih baik (ibda’ binafsii). Tidak ada akhir
dalam kesempurnaan diri. Tidak ada akhir dalam pencapaian prestasi. Tidak ada
akhir dalam mengabdi dan berkarya. Selama jantung kita masih berdetak, darah
kita masih mengalir, nafas kita masih keluar dari tenggorokan disitulah kita
harus terus berusaha merubah diri menjadi lebih baik sehingga bertambah baiknya
kita memberikan kebaikan kepada orang lain. Itulah HIDUP BERKAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar