Selasa, 16 Oktober 2012

Perempuan Menggugat


By : Abdul Rohim
(25 Juni 2012, pukul: 22.54 WIB)

Tentang Perempuan, Selalu menjadi tema hangat dalam kajian-kajian diskusi terlebih bila membahas diskriminasi gender yang masih menjadi budaya dalam masyarakat kita. Kecendrungan budaya patriarki menyebabkan perempuan mempertanyakan peran mereka dalam kehidupan, yang lebih radikal lagi, menggugat budaya tersebut sebagai bentuk yang tidak berprikemanusiaan.


Entah darimana mulainya, pada kenyataannya perempuan selalu berada pada posisi yang dimarjinalkan. sejarah mencatat, perempuan selalu menjadi objek kehidupan, budak dari laki-laki sebagai pelayan dan pemuas nafsu mereka. Disinilah perempuan, oleh kekangan sejarahnya  merasa tidak aman bila mereka harus pergi sendiri sehingga terciptalah konstruk budaya yang mengharuskan perempuan sebagai penunggu rumah, menjaga dan mengelolanya dan haram baginya untuk terlibat aktif dalam kebijakan-kebijakan public.

Begitu banyak sejarah kelam perempuan yang kurang diperhatikan hak-hak asasi mereka seperti pendidikan, menentukan pilihan hidup, pilihan bekerja, berpolitik dan lain sebagainya.

Saat ini, ketika modernisasi telah sampai kepelosok-pelosok dunia, perempuan mulai menunjukan eksistensinya dengan berkiprah di segala bidang. Tidak ada lagi pembedaan antara maskulin dan feminim, semuanya dinilai atas prestasi mereka.

Di Negara kita, sudah banyak kita temukan wanita bekerja diruang-ruang public seperti menjadi pengusaha, karyawan, politikus, sopir, membantu suami ke sawah dan kebun bahkan memimpin instansi-instansi baik swasta maupun pemerintah.Alhasil, perempuan sebagai penunggu rumah sudah tidak popular lagi.

Dalam bidang politik, undang-undang kita mensyaratkan anggota dewan di isi minimal 30 persen dari kursi yang ada di dewan. Akan tetapi, realitasnya saat ini masih dibawah 30 persen.

Dalam dunia internasional, sekitar 192 negara menyepakati sasaran  Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) pada 2015 salahsatunya adalah pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender.

Namun tidak bisa dipungkiri, budaya partiarkhi sepenuh nya belum bisa hilang dalam masyarakat kita. Laki-laki masih cenderung mendominasi dan terkadang secara tidak sadar terus mengkonstruk budaya tersebut dalam keseharian.

Misalnya bila perempuan pulang malam-malam selepas kerja, terkadang menjustifikasi bahwa perempuan tersebut adalah ‘kupu-kupu malam’. Adalah sangat tidak  logis bila menilai hanya dengan putaran waktu tanpa ada fakta yang jelas.

Paradigma bahwa perempuan setinggi apapun sekolah, pasti akan kembali ke dapur masih banyak ditemukan dalam konstruk pemikiran orang tua, implikasinya terkadang tidak menganggap penting pendidikan anak perempuannya.

Kalau boleh saya katakan, hari ini perempuan tugasnya begitu berat, dia berperan ganda yaitu selain mencukupi kebutuhan keluarganya dengan bekerja pun dia harus mengurusi anak dan rumah tangganya. Atau dengan bahasa lain perannya sebagai tulang punggung dan sekaligus sebagai tulang rusuk.

Sebagai tulang punggung, perempuan bertanggung jawab terhadap kemajuan perekonomian keluarga karena zaman sekarang kebutuhan hidup yang begitu banyak sehingga sulit bila hanya lelaki yang mencukupi ekonomi keluarga, apalagi dengan penghasilan yang pas-pas an.

Sebagai tulang rusuk, perempuan berkewajiban menemani suami, memperkuat tulang punggungnya dan melindunginya dari kepenatan hidup.

Itulah perempuan, hari ini harus menjadi ‘super women’ dan ‘super mom’.

Ahh..ternyata, penggugatan perempuan menimbulkan efek yang luar biasa dalam kehidupannya. Ini juga terjadi karena mungkin laki-laki tidak semuanya memahami perjuangan yang di inginkannya atau mungkin tidak mau sama sekali berpartisipasi.

Ketika perempuan mengharuskan bekerja diluar, maka seharusnya kewajiban dirumah seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah dan lain sebagainya bukan hanya tanggung jawab istri saja akan tetapi kewajiban bersama. Disinilah perlunya saling memahami dan mengerti diantara keduabelah pihak.

Proses dekonstruksi memang akan selalu melahirkan retakan-retakan bahkan kepingan-kepingan budaya baru atau juga bisa menghancur leburkan.

Kita harus menambal retakan tersebut, menyusun kembali kepingan tersebut ataupun mengumpulkan leburan debu tersebut dan membentuknya menjadi produk budaya yang diharapkan.

Bermusyawarah untuk mendudukan permasalahan pada tempat yang diharapkan adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan ini. Jangan sampai timbul emansipasi wanita yang kebablasan, memahami gerakan gender dalam perspektif kurang benar sehingga muncul penentangan kodrati mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar