Selasa, 16 Oktober 2012

Panggung Sandiwara


Abdul rohim (9 sept 2012) pkl 11.45 WIB

Mengamati berita PILKADA di media seperti menonton pertunjukan sandiwara. Terbersit Tanya apakah benar mereka akan memperjuangkan nasib rakyat nya? Apakah iya mereka mampu menjalankan amanah nya tersebut? bagaimana mereka bisa memerangi korupsi yang telah membudaya?. Toh yang saya lihat, mau itu jadi kepala desa, jadi bupati, jadi gubernur  atau pun apalah itu, ternyata hanya kegiatan-kegiatan seremonial saja. kunjung sana kunjung sini, tanda tangan ini itu dan lain sebagainya. Kalau seperti ini kerjanya, semua orang juga bisa. 

Yang dibutuhkan sebenarnya adalah bagaimana ketika memimpin mempunyai kepribadian yang tangguh. Dia tidak mau disogok dan menyogok, dia tidak berorientasi mengembalikan biaya kampanye. Dia tidak mau menilap uang rakyat. Dia menganggarkan uang rakyat untuk rakyat. Itu secara materi, secara non materi bagaimana kebijakan yang diambil nya haruslah dengan hati nurani. Jangan sampai orang yang ingin sekolah tapi putus dijalan karena tidak ada biaya, jangan orang miskin mati konyol karena tidak ada rumah sakit yang mau menerimanya, jangan sampai rakyat dipungut biaya pajak yang tidak sesuai dengan kemampuanya. Ataupun gusur menggusur pekerjaan rakyat tanpa ada solusi yang diberikan.

Ah memang sulit mencari pemimpin yang seperti itu. Yang ada hanya pemimpin yang angkuh, sombong, sok berkuasa. Seakan-akan dunia telah dipegangnya. Seakan-akan dia telah banyak memberikan manfaat  bagi orang lain namun pada kenyataanya jauh panggang dari api.

Ingin enak sendiri, ingin dilayani, tak peduli nasib orang kecil, acuh terhadap rusaknya fasilitas umum adalah ciri-ciri sebagian pemimpin kita. Ketika berada di jalan raya, pemimpin ini menjadi raja jalanan. Suara ngiung-ngiung mengharuskan siapa saja untuk minggir. Diburu oleh waktu, mungkin itu alasanya. Sehingga begitu bebas untuk menancapkan gas, ngebut dijalan raya. Tidak tau, kalau yang ada didepan nya tersentak kaget, apalagi dengan suara speaker nya yang seakan-akan menghardik untuk minggir.  Otomatis jalan tanah yang dipenuhi batu dan berlubang menjadi pilihan karena ada sang pemimpin yang lewat.

Kedatangan nya disuatu tempat harus disambut sedemikian rupa, bukan saja dengan pertunjukan khas masarakat setempat akan tetapi dengan makanan yang serba mewah. Uang nya gampag, ambil saja dari rakyat karena toh sudah dianggarkan. Melihat makanan yang serba enak tersebut, bisa dibayang kan masyarakat yang jarang sekali menemukan makanan seperti itu, sering berucap..ahh enak juga jadi pemimpin… atau mungkin disana ada rakyat nya yang kelaparan..Sungguh tega bila terjadi seperti itu, seperti menari diatas luka.

Sebelum menjadi pemimpin, janji muluk ditebarkan, “mana mungkin dia korupsi, toh dia sudah kaya”. Ah bangunan opini yang tidak masuk akal. Kita tau, sifat manusia tu tidak akan pernah puas dengan satu hal. Sudah punya sepeda, ingin motor, sudah punya motor, ingin mobil dan seterusnya. Akhir dari kepuasan manusia apabila tanah sudah menjejali mulutnya. Itulah hukum sifat manusia. Mana mungkin, bila dalam kampanye mereka habis 5 M, kemudian dia ikhlaskan begitu saja. Lebih baik diamal kan, tentu lebih bermanfaat kelak diakherat.

Memang kalau system pemilu nya masih mengharuskan calon-calon pemimpin mengeluaran biaya sendiri, akan sulit menjalankan pemerintahan yang bersih. Belum lagi tim sukses nya pun pasti minta bagian ketika dia telah berhasil menjadi pemimpin.

Pemilu seperti pekerjaan bagi banyak orang. Orang kaya yang mencalonkan, dan orang miskin yang menjadi pekerja nya. Semuanya ibarat tali temali yang semerawut ibarat benag kusut yang sulit kita uraikan.

Selayaknya menjadi pemimpin adalah orang yang sudah selesai pada dirinya, keluarganya dan lingkungannya. sehingga ketika memimpin dia tidak birahi lagi untuk menilap dan mendzolimi orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar