Abdul rohim (9 sept 2012) pkl
11.45 WIB
Mengamati berita
PILKADA di media seperti menonton pertunjukan sandiwara. Terbersit Tanya apakah
benar mereka akan memperjuangkan nasib rakyat nya? Apakah iya mereka mampu
menjalankan amanah nya tersebut? bagaimana mereka bisa memerangi korupsi yang
telah membudaya?. Toh yang saya lihat, mau itu jadi kepala desa, jadi bupati,
jadi gubernur atau pun apalah itu,
ternyata hanya kegiatan-kegiatan seremonial saja. kunjung sana kunjung sini, tanda tangan ini itu dan
lain sebagainya. Kalau seperti ini kerjanya, semua orang juga bisa.
Yang dibutuhkan
sebenarnya adalah bagaimana ketika memimpin mempunyai kepribadian yang tangguh.
Dia tidak mau disogok dan menyogok, dia tidak berorientasi mengembalikan biaya
kampanye. Dia tidak mau menilap uang rakyat. Dia menganggarkan uang rakyat
untuk rakyat. Itu secara materi, secara non materi bagaimana kebijakan yang
diambil nya haruslah dengan hati nurani. Jangan sampai orang yang ingin sekolah
tapi putus dijalan karena tidak ada biaya, jangan orang miskin mati konyol
karena tidak ada rumah sakit yang mau menerimanya, jangan sampai rakyat
dipungut biaya pajak yang tidak sesuai dengan kemampuanya. Ataupun gusur
menggusur pekerjaan rakyat tanpa ada solusi yang diberikan.
Ah memang sulit
mencari pemimpin yang seperti itu. Yang ada hanya pemimpin yang angkuh,
sombong, sok berkuasa. Seakan-akan dunia telah dipegangnya. Seakan-akan dia
telah banyak memberikan manfaat bagi
orang lain namun pada kenyataanya jauh panggang dari api.
Ingin enak sendiri,
ingin dilayani, tak peduli nasib orang kecil, acuh terhadap rusaknya fasilitas
umum adalah ciri-ciri sebagian pemimpin kita. Ketika berada di jalan raya,
pemimpin ini menjadi raja jalanan. Suara ngiung-ngiung mengharuskan siapa saja
untuk minggir. Diburu oleh waktu, mungkin itu alasanya. Sehingga begitu bebas
untuk menancapkan gas, ngebut dijalan raya. Tidak tau, kalau yang ada didepan
nya tersentak kaget, apalagi dengan suara speaker nya yang seakan-akan
menghardik untuk minggir. Otomatis jalan
tanah yang dipenuhi batu dan berlubang menjadi pilihan karena ada sang pemimpin
yang lewat.
Kedatangan nya disuatu
tempat harus disambut sedemikian rupa, bukan saja dengan pertunjukan khas
masarakat setempat akan tetapi dengan makanan yang serba mewah. Uang nya
gampag, ambil saja dari rakyat karena toh sudah dianggarkan. Melihat makanan
yang serba enak tersebut, bisa dibayang kan
masyarakat yang jarang sekali menemukan makanan seperti itu, sering
berucap..ahh enak juga jadi pemimpin… atau mungkin disana ada rakyat nya yang
kelaparan..Sungguh tega bila terjadi seperti itu, seperti menari diatas luka.
Sebelum menjadi
pemimpin, janji muluk ditebarkan, “mana mungkin dia korupsi, toh dia sudah kaya”.
Ah bangunan opini yang tidak masuk akal. Kita tau, sifat manusia tu tidak akan
pernah puas dengan satu hal. Sudah punya sepeda, ingin motor, sudah punya
motor, ingin mobil dan seterusnya. Akhir dari kepuasan manusia apabila tanah
sudah menjejali mulutnya. Itulah hukum sifat manusia. Mana mungkin, bila dalam
kampanye mereka habis 5 M, kemudian dia ikhlaskan begitu saja. Lebih baik
diamal kan,
tentu lebih bermanfaat kelak diakherat.
Memang kalau system
pemilu nya masih mengharuskan calon-calon pemimpin mengeluaran biaya sendiri,
akan sulit menjalankan pemerintahan yang bersih. Belum lagi tim sukses nya pun
pasti minta bagian ketika dia telah berhasil menjadi pemimpin.
Pemilu seperti
pekerjaan bagi banyak orang. Orang kaya yang mencalonkan, dan orang miskin yang
menjadi pekerja nya. Semuanya ibarat tali temali yang semerawut ibarat benag
kusut yang sulit kita uraikan.
Selayaknya menjadi pemimpin adalah orang yang sudah selesai pada dirinya, keluarganya dan lingkungannya. sehingga ketika memimpin dia tidak birahi lagi untuk menilap dan mendzolimi orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar