Minggu, 14 Oktober 2012

Membangun Kualitas Keluarga


Oleh : ABDUL ROHIM,S.HUM.,M.PD.I

Memperingati hari keluarga 29 juni, semestinya dijadikan ajang refleksi untuk mengingatkan kembali kepada kita tentang makna keluarga. Bagaimana kualitas keluarga kita? Hendak dibawa kemana keluarga kita? Sudahkah kita menempatkan fungsi keluarga secara tepat?


Pertanyaan ini sangat penting sebagai instropeksi tentang sejauhmana tindakan kita memposisikan keluarga dalam kehidupan sehari-hari.

Keluarga sebagai bagian terkecil dari masyarakat mempunyai peran yang sangat strategis dalam menentukan kemajuan peradaban bangsa sebab dari sinilah awal penanaman nilai dan budaya. Bila keluarganya telah menyimpang dari fungsi-fungsi ideal, mana mungkin peradaban bangsa akan terbentuk.

Sebagai mana diketahui, ada delapan fungsi ideal keluarga yaitu fungsi agama, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, pendidikan, ekonomi dan lingkungan.

Berkaitan dengan ini, pemerintah memberikan istilah keluarga sejahtera (BKKBN) dan kementerian agama menyebutnya sebagai keluarga sakinah.

Namun, idealitas tersebut tidak sesuai dengan realitas yang ada. Keluarga saat ini, belum mampu mewujudkan fungsi idealnya bahkan cenderung mengarah kepada disorientasi fungsi.
Seperti maraknya perselingkuhan, kawin-cerai, seks bebas (free sex), narkoba, anak jalanan, aborsi, kekerasan dalam rumah tangga dan lain sebagai nya seakan-akan menjadi trend masa kini yang menghiasi pemberitaan di media.

Jauh hari, dalam salah satu bukunya, Understanding Family Policy, Shirley L. Zimmerman (1995)     menulis   bahwa    dekade    sembilan    puluhan    sebagai   tahun-tahun    tidak  menentu (uncertain     years)   bagi  keluarga. Hal ini dikarenakan fungsi-fungsi keluarga telah berubah menjadi seperti bukan keluarga dan ternyata fakta ini berlangsung hingga saat ini.

Permasalahan keluarga di Indonesia yang begitu kompleks, membuat semua kalangan merasa miris sehingga perlu dicarikan solusi yang brilian cepat dan tepat sasaran. Program-program pemerintah pun disinyalir belum mampu memecahkan permasalahan keluarga ini.

Setidaknya, menurut saya, ada tiga poin yang menjadi problem keluarga di Indonesia dewasa ini yaitu :
Pertama, Kualitas keluarga yang masih rendah . Hal ini tergambar dari daftar Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan UNDP pada 2 November 2011 yang menempatkan Indonesia pada posisi 124 dari 187 Negara. Sedang di Asia-Pasifik, HDI Indonesia No.12 dari 21 Negara. 

Kedua, Keterpecahan keluarga yang diakibatkan cepatnya laju modernisasi yang ada di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang tadinya agraris dengan pikiran yang sederhana diakibatkan era globalisasi menjadikan masyarakatnya harus beradaptasi dengan industrialisasi dan teknologi  informasi.

Implikasinya, terjadilah seperti yang diramalkan Alvin Toffler sebagai kejutan masa depan (future shock) yang berwatak eksesif dan degradatif . Misal dangkalnya nilai-nilai sosial relijius, desakralisasi perkawinan, lunturnya kearifan budaya lokal, kekeluargaan yang cenderung longgar (family lose) sehingga tidak terbangun hubungan emosional dalam keluarga dan lain sebagainya.

Ketiga, masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan data dari BPS pada Maret 2011 angka kemiskinan sebanyak 30,03 juta jiwa atau 12,49% dari jumlah penduduk Indonesia.

Revitalisasi

Berdasarkan permasalahan diatas, menjadi tugas bersama membangun keluarga ideal yang diharapkan. Disinilah perlunya revitalisasi fungsi keluarga karena keluarga adalah sumber pertama yang terpengaruh dari setiap perubahan masyarakat dan bangsa.

Keluarga diyakini mampu untuk berperan aktif dalam pembangunan kualitas bangsa. Adalah keliru, bila tantangan masa depan tidak diawali dengan memecahkan permasalahan keluarga yang terjadi hari ini dan tidak memperhatikan program-program untuk keluarga.

Untuk mewujudkan itu, aspek endogenus dan eksogenus berperan penting dalam menganalisis perubahan keluarga menuju yang lebih baik dan berkualitas.

Karenanya perlu untuk merefleksikan dan mereformulasi aspek endogenus seperti membangun misi keluarga, integrasi sistem keluarga, menempatkan peran dan fungsi keluarga secara tepat dan lain sebagainya. Dalam aspek ini, membangun komunikasi yang baik dalam keluarga selaiknya dilakukan.

Dari aspek eksogenus peran pemerintah, akademisi, LSM, media, penyuluh dan lain sebagainya sangatlah urgen untuk menciptakan kualitas keluarga.

Program-program yang ditawarkan pemerintah atau swasta dimana keluarga sebagai sasarannya haruslah bersifat partisipatoris dan bukan malah intervensif.

Sasaran pembangunan keluarga, setidaknya pada tiga aspek utama yaitu ; pertama, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan keluarga. Dengan kualitas pendidikan, Jangan sampai anak bangsa putus pendidikan karena terbentur oleh kondisi yang tidak memungkinkan untuk meningkatkan kualitas dirinya seperti karena kemiskinan, tempat pendidikan yang terbatas dan tersingkir dalam persaingan memperebutkan kursi di tempat pendidikan yang berkualitas.

Adapun kualitas kesehatan keluarga diharapkan menjadi penopang gerak produktifitas pembangunan.
Kedua, Penanaman nilai-nilai sosial relijius dalam keluarga. Diharapkan keluarga dapat bersinergi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga keterpecahan keluarga dapat diminimalisir.

Ketiga, Pemberdayaan ekonomi keluarga. Kemiskinan tidak dapat diatasi dengan memberikan bantuan langsung tunai tetapi harus dengan pemberdayaan sehingga tercipta keluarga yang terampil dan produktif.
Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta jiwa perdesember 2011 dengan pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 1,5 persen pertahun akan menjadi bumerang bila tidak di imbangi oleh kualitas sumber daya manusia nya. 

Alhasil, investasi terhadap pembangunan kualitas keluarga menjadi tuntutan yang mutlak harus dilakukan semua pihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar