Oleh : ABDUL ROHIM,S.HUM.,M.PD.I
Memperingati
hari keluarga 29 juni, semestinya dijadikan ajang refleksi untuk mengingatkan
kembali kepada kita tentang makna keluarga. Bagaimana kualitas keluarga kita?
Hendak dibawa kemana keluarga kita? Sudahkah kita menempatkan fungsi keluarga
secara tepat?
Pertanyaan
ini sangat penting sebagai instropeksi tentang sejauhmana tindakan kita
memposisikan keluarga dalam kehidupan sehari-hari.
Keluarga
sebagai bagian terkecil dari masyarakat mempunyai peran yang sangat strategis
dalam menentukan kemajuan peradaban bangsa sebab dari sinilah awal penanaman
nilai dan budaya. Bila keluarganya telah menyimpang dari fungsi-fungsi ideal,
mana mungkin peradaban bangsa akan terbentuk.
Sebagai
mana diketahui, ada delapan fungsi ideal keluarga yaitu fungsi agama, sosial
budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, pendidikan, ekonomi dan
lingkungan.
Berkaitan
dengan ini, pemerintah memberikan istilah keluarga sejahtera (BKKBN) dan
kementerian agama menyebutnya sebagai keluarga sakinah.
Namun,
idealitas tersebut tidak sesuai dengan realitas yang ada. Keluarga saat ini,
belum mampu mewujudkan fungsi idealnya bahkan cenderung mengarah kepada
disorientasi fungsi.
Seperti
maraknya perselingkuhan, kawin-cerai, seks bebas (free sex), narkoba, anak jalanan, aborsi, kekerasan dalam rumah
tangga dan lain sebagai nya seakan-akan menjadi trend masa kini yang menghiasi pemberitaan di media.
Jauh
hari, dalam salah satu bukunya, Understanding
Family Policy, Shirley L. Zimmerman (1995) menulis
bahwa dekade sembilan
puluhan sebagai tahun-tahun tidak
menentu (uncertain years) bagi
keluarga. Hal ini dikarenakan fungsi-fungsi keluarga telah berubah
menjadi seperti bukan keluarga dan ternyata fakta ini berlangsung hingga saat
ini.
Permasalahan
keluarga di Indonesia
yang begitu kompleks, membuat semua kalangan merasa miris sehingga perlu
dicarikan solusi yang brilian cepat dan tepat sasaran. Program-program pemerintah
pun disinyalir belum mampu memecahkan permasalahan keluarga ini.
Setidaknya,
menurut saya, ada tiga poin yang menjadi problem keluarga di Indonesia
dewasa ini yaitu :
Pertama,
Kualitas keluarga yang masih rendah . Hal ini tergambar dari daftar Human Development Index (HDI) yang
dikeluarkan UNDP pada 2 November 2011 yang menempatkan Indonesia pada
posisi 124 dari 187 Negara. Sedang di Asia-Pasifik, HDI Indonesia No.12 dari 21
Negara.
Kedua,
Keterpecahan keluarga yang diakibatkan cepatnya laju modernisasi yang ada di Indonesia.
Masyarakat Indonesia
yang tadinya agraris dengan pikiran yang sederhana diakibatkan era globalisasi
menjadikan masyarakatnya harus beradaptasi dengan industrialisasi dan teknologi
informasi.
Implikasinya, terjadilah seperti yang
diramalkan Alvin Toffler sebagai kejutan masa depan (future shock) yang berwatak eksesif dan degradatif . Misal dangkalnya
nilai-nilai sosial relijius, desakralisasi perkawinan, lunturnya kearifan
budaya lokal, kekeluargaan yang cenderung longgar (family lose) sehingga tidak terbangun hubungan emosional dalam
keluarga dan lain sebagainya.
Ketiga,
masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan
data dari BPS pada Maret 2011 angka kemiskinan sebanyak 30,03 juta jiwa atau
12,49% dari jumlah penduduk Indonesia.
Revitalisasi
Berdasarkan
permasalahan diatas, menjadi tugas bersama membangun keluarga ideal yang
diharapkan. Disinilah perlunya revitalisasi fungsi keluarga karena keluarga
adalah sumber pertama yang terpengaruh dari setiap perubahan masyarakat dan
bangsa.
Keluarga
diyakini mampu untuk berperan aktif dalam pembangunan kualitas bangsa. Adalah
keliru, bila tantangan masa depan tidak diawali dengan memecahkan permasalahan
keluarga yang terjadi hari ini dan tidak memperhatikan program-program untuk
keluarga.
Untuk
mewujudkan itu, aspek endogenus dan eksogenus berperan penting dalam menganalisis
perubahan keluarga menuju yang lebih baik dan berkualitas.
Karenanya
perlu untuk merefleksikan dan mereformulasi aspek endogenus seperti membangun misi
keluarga, integrasi sistem keluarga, menempatkan peran dan fungsi keluarga
secara tepat dan lain sebagainya. Dalam aspek ini, membangun komunikasi yang
baik dalam keluarga selaiknya dilakukan.
Dari aspek
eksogenus peran pemerintah, akademisi, LSM, media, penyuluh dan lain sebagainya
sangatlah urgen untuk menciptakan kualitas keluarga.
Program-program
yang ditawarkan pemerintah atau swasta dimana keluarga sebagai sasarannya
haruslah bersifat partisipatoris dan bukan malah intervensif.
Sasaran
pembangunan keluarga, setidaknya pada tiga aspek utama yaitu ; pertama,
peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan keluarga. Dengan kualitas
pendidikan, Jangan sampai anak bangsa putus pendidikan karena terbentur oleh
kondisi yang tidak memungkinkan untuk meningkatkan kualitas dirinya seperti
karena kemiskinan, tempat pendidikan yang terbatas dan tersingkir dalam
persaingan memperebutkan kursi di tempat pendidikan yang berkualitas.
Adapun
kualitas kesehatan keluarga diharapkan menjadi penopang gerak produktifitas
pembangunan.
Kedua,
Penanaman nilai-nilai sosial relijius dalam keluarga. Diharapkan keluarga dapat
bersinergi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga keterpecahan
keluarga dapat diminimalisir.
Ketiga,
Pemberdayaan ekonomi keluarga. Kemiskinan tidak dapat diatasi dengan memberikan
bantuan langsung tunai tetapi harus dengan pemberdayaan sehingga tercipta keluarga
yang terampil dan produktif.
Jumlah
penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta jiwa perdesember 2011 dengan pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 1,5 persen pertahun akan menjadi bumerang bila tidak di imbangi oleh
kualitas sumber daya manusia nya.
Alhasil,
investasi terhadap pembangunan kualitas keluarga menjadi tuntutan yang mutlak
harus dilakukan semua pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar