Minggu, 14 Oktober 2012

Kesalehan pada Kosmos






Oleh Abdul Rohim, S.Hum., M.Pd.I. (Pegawai Kankemenag Lampung Utara)
 
Setiap memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environment Day) 5 Juni 2012, selaiknya kita merefleksikan kembali tentang perilaku terhadap alam. Sudahkah memperlakukannya secara santun ataukah malah berbuat aniaya dengan merusak dan mengeksploitasi alam secara berlebih-lebihan? 




PERTANYAAN ini menjadi sangat penting bila dikaitkan dengan bencana alam yang sering terjadi di Indonesia apakah hanya  kejadian alam (natural disaster) biasa ataukah oleh ulah manusia (man made disaster).

Kenyataannya, tidak sedikit bencana alam yang diakibatkan ulah tangan manusia. Seperti kerusakan hutan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan yang menyebabkan tanah longsor, banjir, hilangnya keanekaragaman hayati, kekeringan, hingga terjadi perubahan iklim dan pemanasan global (global warming).
Masalah banjir yang sering menghantui warga Jakarta merupakan salah satu contoh konkret. Bahkan menjadikannya sebagai komoditas politik yang menarik bagi para kandidat kepala daerah untuk memenangkan pemilihan.

Yang jelas, dunia saat ini sedang dilanda krisis lingkungan akibat keserakahan manusia mengeksploitasi alam berupa illegal mining, illegal logging, illegal fishing, pencemaran dan sebagainya.

Gerakan hemat energi yang dicanangkan presiden SBY baru-baru ini patutlah diapresiasikan semua elemen bangsa dan jangan dijadikan hanya sebagai wacana un sich walau nampaknya pemerintah belum berani menggantikan energi berbahan fosil. Seperti tertuang dalam Keputusan Presiden No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Indonesia sampai 2025 yang masih menggantungkan sekitar 83 persen energinya pada sumber-sumber berbahan fosil (sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui),

Padahal, PBB menargetkan 2030 dunia harus berganti ke sumber energi terbarukan yang dimulai tahun ini sebagai international year of sustainable energy for all (tahun internasional energi terbarukan).

Terlepas dari itu, tentunya program hemat energi ini diharapkan mampu merubah paradigma semua elemen masyarakat bahwa energi yang tidak bisa diperbarui jumlahnya terbatas.

Pada sisi lain, harus dipahami bahwa gerakan ini bukanlah satu-satunya kunci mengubah perilaku boros semua elemen bangsa ini dan/atau menyelesaikan krisis energi yang berbanding lurus dengan krisis lingkungan yang melanda Indonesia dan dunia karena krisis lingkungan bukan semata-mata masalah politik, ekonomi, hukum. Akan tetapi perlu penyelesaian dari berbagai perspektif termasuk agama.

Sebagai bangsa yang religius, peran agama sangatlah penting. Sebab, jangan-jangan permasalahan ini kurang pemahaman mereka terhadap nilai-nilai pokok agamanya. Atau bahkan tidak menganggap sebagai masalah yang penting.

Reinterpretasi Khalifah

Allah SWT telah menegur manusia bahwa kerusakan yang ada di darat dan laut disebabkan karena tangan manusia (QS.30:41). Dengan kerusakan tersebut, air yang tadinya sebagai sumber kehidupan menjadi sangat menakutkan yang berubah menjadi bah yang menghancurkan; tanah untuk kesejahteraan telah menelan manusia dalam longsor yang mengerikan; dan udara menjadi racun yang mematikan. Bencana alam tersebut akan terjadi bila manusia tidak mengantisipasinya, yaitu dengan kembali menempatkan alam sebagai sahabat manusia.

Sayangnya, hal itu belum dipahami sepenuhnya oleh umat Islam. Tema-tema ceramah agama kebanyakan masih berisi anjuran beribadah kepada Allah dan hubungan sosial. Dari sinilah lahir ungkapan kesalehan individu dan kesalehan sosial. Padahal, kesalehan pada kosmos merupakan poin tidak bisa dilepaskan dari kedua kesalehan tadi.

Manusia yang diberi mandat oleh ALLH di muka bumi sebagai khalifah, mengelola, dan mengatur alam ini seharusnya memperlakukan secara santun serta ramah untuk kesejahteraan, keadilan, maupun kedamaian. Tidak patut bila mengelola alam ini secara tidak adil, penuh keserakahan, dan pertumpahan darah dengan mengeksploitasi alam secara berlebihan yang tentunya telah menodai misi kekhalifahan.

Konservasi dan Restorasi

Patut disambut gembira karena dalam beberapa tahun ini masalah lingkungan menjadi perhatian bagi pengkaji agama. Dalam Islam muncul istilah fikih lingkungan (fiqh al-biah) sebagai jawaban dari problem tersebut dengan berorientasi ke konservasi dan restorasi lingkungan demi mewujudkan Islam yang membawa kedamaian bagi seluruh alam.

Bagi umat Islam, fikih merupakan bagian yang paling urgen dalam pengamalan agama seorang muslim. Bahkan, semua ibadah tidak akan terlepas dari yang namanya fikih (hukum islam). Sehingga seorang pemikir muslim Maroko, Muhammad Abid Al-Jabiri, menyatakan bahwa peradaban islam adalah peradaban fikih.
Dalam konteks lingkungan, fikih haruslah dijadikan pokok (ushul) agama. Bukan hanya ditempatkan sebagai cabang (furu) sebagaimana yang diungkapkan Yusuf Qardhawi dalam ri’ayah al-Bi’ah fiy Syari’ah al-Islam, bahwa memelihara lingkungan sama halnya dengan menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid al-syari’ah) yakni menjaga jiwa, akal, harta, keturunan dan agama Sebab, kelima tujuan dasar tersebut bisa terejawantah jika lingkungan dan alam semesta mendukungnya. Karena itu, memelihara lingkungan sama hukumnya dengan maqashid al-syari’ah.

Alhasil, para tokoh agama perlu menanamkan pada masyarakat kita tentang perilaku yang ramah lingkungan sebagai bagian dari kesalehan pada kosmos. Menjalankannya merupakan kewajiban dan melanggarnya berarti kafir lingkungan. (*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar