Minggu, 21 Oktober 2012

Glamour dalam Resepsi Pernikahan

E-mail   Email Berita
Cetak  Print Berita
PDF  PDF Berita
Oleh Abdul Rohim, S.Hum., M.Pd.I. (Penghulu Pertama KUA Hulusungkai, Lampung Utara)
 
Pesta pernikahan yang glamour akhir-akhir ini sering kita saksikan di media, baik cetak maupun elektronik. Kemudian disuguhkan oleh selebritis kita yang memang sudah terbiasa dengan dunia gemerlap, kemewahan, dan serbawah. Baru-baru saja kita menyaksikan kemewahan pernikahan Anang Hermansyah dan Ashanti yang disiarkan langsung oleh salah satu televisi swasta. 




    PUN kita menyaksikan pesta pernikahan adiknya Syahrini, Aisyahrani, dengan mahar satu unit mobil mewah seharga Rp1 miliar. Wah.. wah.. mahar yang tidak semua orang mampu memberikannya.

    Tontonan ini pun sadar atau tidak telah membangun persepsi masyarakat  bahwa resepsi pernikahan haruslah diadakan secara besar-besaran. Serta dengan mengundang banyak orang dan suguhan yang mewah. Untuk itu, perlu strategi  yang ampuh. Seperti digelarnya hiburan dengan musik yang berupa organ tunggal atau lainnya.

    Pertunjukan ini pun memperoleh decak kagum bagi sebagian orang. Bahkan, bagi orang yang belum menikah dijadikan sebuah harapan nantinya. Di mana, ketika menikah harus digelar secara meriah.  Maka dari sini timbullah pemaksaan kepada orang tua untuk bisa memenuhi hajatnya tersebut. Bagi yang mampu mungkin bukan sebuah masalah. Tapi bagi yang tidak mampu, maka berbagai jalan pun akan ditempuh seperti dengan berutang.

    Sekarang memang begitu mudah untuk mengadakan acara-acara besar seperti resepsi pernikahan. Sebab, banyak warung dan toko yang bersedia memberikan bantuan terlebih dahulu berupa keperluan yang dibutuhkan. Sedangkan pembayarannya bisa selesai acara tersebut. Dari sinilah, resepsi pernikahan mau atau tidak menjadi semacam ajang bisnis. Di mana untung dan rugi menjadi orientasi utamanya.

    Kecenderungan acara resepsi yang begitu dipaksakan pun terjadi tanpa menilai kemampuan yang ada. Sehingga, selesai acara tinggal menghitung utang yang harus dibayar. Kalau yang datang sesuai prediksi, mungkin tidak menjadi masalah. Bila undangan yang hadir sedikit, nah di sinilah masalahnya. Di mana, dia harus membayar jamuan yang sudah dihidangkan walau sisanya banyak.

    Mungkin menjadi budaya masyarakat kita, di mana meramaikan acara resepsi sebagai sebuah keharusan dan bentuk kecintaan kepada anaknya. Bisa juga sebagai prestige yang mampu membanggakan dia di tengah-tengah masyarakat. Semakin besar resepsi tersebut, kian mewah acaranya. Dan semakin banyak kendaraan mewah yang berjajar di parkiran, semakin tinggilah reputasinya.

    Memang tidak ada larangan merayakan resepsi secara mewah dan memberikan mahar yang besar. Bahkan, Nabi Muhammad SAW pun menyarankan untuk mengumumkan pernikahan walau hanya dengan memotong seekor kambing. Adapun mahar yang besar menandakan kualitas dari wanita tersebut. Sehingga, selaiknyalah mendapatkan pemberian dari laki-laki yang akan menikahinya yang penting tidak memberatkannya.

    Bila resepsi itu dimaksudkan untuk unjuk gigi di hadapan masyarakat dengan memamerkan kekayaan, popularitas, menunjukkan kasta yang lebih tinggi dibandingkan yang lain, mendeklarasikan kesuksesannya dengan penuh kesombongan, serta lain sebagainya, tidak dibenarkan menurut syariat Islam.

    Seyogyanya acara resepsi pernikahan adalah ungkapan syukur kita kepada Allah SWT. Di mana dengan syukur ini, diharapkan nantinya kedua mempelai dalam membangun rumah tangga bisa langgeng, sakinah, mewadah, dan penuh rahmat. Karenanya, tidak perlu dibanggakan apalagi timbul kesombongan di dalamnya.

    Kalau sebagai ungkapan rasa syukur, undanglah fakir miskin supaya bisa ikut merasakan kebahagiaan acara resepsi tersebut dengan tidak membedakan siapa yang harus diundang. Dan tentunya tidak mengharapkan tendensi apa pun dari digelarnya acara tersebut.

    Saling berbagi kebahagiaan dengan orang lain merupakan sunah Rasulullah SAW dan nabi sebelumnya. Dalam sejarahnya, kita mengenal Nabi Ibrahim AS. Di mana untuk makan saja, beliau rela mencari orang untuk berbagi dan menemaninya makan walau orang tersebut berada jauh dari tempatnya. Itulah sebabnya kenapa beliau diberi gelar ’’Bapaknya Para Tamu’’. Dia mengundang itu dengan niat untuk memberikan kesenangan kepada orang-orang mukmin, menebarkan rasa ingin memiliki kebaikan, dan menggembirakan hati saudara-saudaranya.

    Pada zaman sekarang, seharusnya kita mencontoh perbuatan Nabi Ibrahim AS tersebut. Yakni  dengan tanpa ada tendensi yang lain di balik semua itu yang semata-mata hanya untuk memberikan kegembiraan kepada orang lain yang merupakan salah satu perintah Allah. Undangan yang hadir merupakan tamu yang harus kita muliakan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Bukhori-Muslim ’’Barang siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya’’.

    Kesombongan dalam setiap resepsi pernikahan dengan ke-glamour-an yang berlebih-lebihan apalagi tidak melihat kemampuan keuangan adalah perbuatan yang dibenci Allah. Dan ini yang harus kita tinggalkan.

Resepsi pernikahan merupakan ’’ilan’’ (pengumuman) kepada khalayak umum sebagai ungkapan rasa syukur atas bersatunya dua insan untuk membangun rumah tangga baru. Maka, selaiknya lah dipenuhi dengan doa (barokallohu lakuma) dan berbagi kebahagiaan dengan sanak famili, tetangga, kolega, fakir, miskin dengan tanpa membedakan status harta mereka, dan tanpa tendensi apa pun.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar