Selasa, 16 Oktober 2012

Dis-Orientasi Budaya ‘Punjungan’



By : Abdul Rohim
Pringsewu,19 Mei 2012 pkl.1939

Punjungan diartikan sebagai pemberian makanan dari orang yang mengadakan acara berupa resepsi pernikahan,tasyakuran kelahiran anak,ketika anak di sunat ataupun acara yang lainnya.Yang paling banyak adalah ketika akan dilaksanakan resepsi pernikahan. biasanya di kampung saya selain berupa surat undangan pun dikirimkan makanan yang sudah dibungkus kantong plastic (Brengkes).Kalau hubungan kekerabatan nya lebih dekat atau dituakan menurut yang punya acara maka biasanya makanan tersebut dimasukan rantang.


Budaya ini mungkin sudah ada sejak zaman dahulu dimana masyarakat pedesaan begitu kental dengan budaya gotong royong,tolong menolong dan menghormati orang yang dituakan.Begitupun kita bisa melihat pada lebaran dimana sebelum lebaran tiba, anak-anaknya memberikan sesuatu kepada orang tua baik itu berupa makanan,kue,baju ,sarung ataupun yang lainnya.yang jelas,saling berbagi kebahagian adalah budaya yang ada dimasyarakat kita.

Dis-orientasi

Seiring dengan perkembangan zaman dimana masyarakat semakin padat dan jangkauan yang luas pun bisa ditempuh dengan cepat  maka budaya ‘punjungan’ ini semakin marak.Mungkin  telah terjadi pergeseran orientasi dimana kalau dahulu berorientasi pada ungkapan rasa syukur atas rahmat tuhan akan tetapi sekarang cenderung kepada ‘bisnis’,bermewah-mewahan dan cenderung dipaksakan.

Ini dapat dilihat bagaimana masyarakat sering mengeluh bila mendapat punjungan karena dengan punjungan berarti dia harus menyiapkan anggaran untuk memberikan sekedar ‘amplop’ untuk membantu acara resepsi itu.Kadang sebulan bisa lima bahkan kalau daerahnya padat bisa lebih dari itu. Bagi orang yang mampu mungkin semacam itu tidak menjadi masalah tapi bagi orang yang untuk membeli kebutuhan pokok saja merasa kesulitan maka ini akan begitu bermasalah karena bisa kita bayangkan untuk mendapatkan uang sebesar itu perlu satu hari kerja,itupun kalau ada yang memperkerjakan.

Ditambah lagi seakan-akan menjadi kewajiban untuk hadir bila sudah dipunjung karena kalau tidak hadir ada efek psikologis tersendiri seperti rasa malu.Di sisi lain,bila hanya berupa undangan baik secara lisan maupun tulisan maka seakan-akan tidak wajib untuk hadir atau terserah dia apakah mau hadir ataukah tidak.Karenanya masyarakat ditempat saya memberikan julukan tersendiri terhadap punjungan ini dengan sebutan budaya ‘Tonjokan’ (Pukulan) dimana seakan-akan pemberian ‘brengkes’ ini merupakan bentuk pukulan kepada anggaran keuangan mereka.

Dalam masyarakat kita pun budaya ‘punjungan’ seakan-akan menjadi hutang tersendiri dimana hutang itu harus dibayar.Setiap ‘amplop’ yang ada,ataupun kado yang pernah diberikan bagi sebagian orang pasti ditulis dalam buku catatan tersendiri sebagai landasan seberapa besar nanti dia harus mengembalikan.

Sekarang memang begitu mudah untuk mengadakan acara-acara besar seperti resepsi pernikahan karena banyak warung-warung atau toko-toko yang bersedia memberikan bantuan terlebih dahulu berupa keperluan yang dibutuhkan sedangkan pembayaran nya bisa selesai acara tersebut.Dari sinilah,mau atau tidak mau menjadi semacam ajang bisnis dimana untung dan rugi menjadi orientasi utamanya.

Kecendrungan acara resepsi yang begitu dipaksakan pun terjadi tanpa menilai kemampuan yang ada sehingga selesai acara tinggal menghitung hutang yang harus dibayar.Kalau yang datang sesuai prediksi mungkin tidak menjadi masalah akan tetapi kalau undangan yang hadir sedikit,nah disinilah masalahnya dimana dia harus membayar jamuan yang sudah dihidangkan walaupun sisa jamuan tersebut masih banyak.

Mungkin sudah menjadi budaya masyarakat kita  dimana meramaikan acara resepsi sebagai sebuah keharusan dan bentuk kecintaan kepada anaknya dan bisa juga sebagai prestige yang mampu membanggakan dia ditengah-tengah masyarakat.semakin besar resepsi tersebut,semakin mewah acaranya dan semakin banyak kendaran mewah yang berjajar di parkiran maka semakin tinggilah reputasinya.

Memang tidak ada salahnya mengumumkan pernikahan ini dalam bentuk resepsi karena nabi pun pernah memerintahkan supaya mengumumkan pernikahan walau hanya dengan memotong se ekor kambing,tapi bila orientasi telah jauh dan menyimpang dari ajaran yang ditentukan seperti supaya dipuji,bermewah-mewahan,atau pun niatan jelek lainnya tentu ini tidak dibenarkan. 

Dari sini,bisa dikatakan bahwa itulah fenomena yang terjadi pada sebagian masyarakat kita dimana telah terjadi pergeseran orientasi tentang budaya ‘punjungan’ ini yang cenderung diartikan pemaksaan,beban dan hutang yang harus dibayar.

Perlunya Re-Orientasi 

Pada dasarnya budaya ‘Punjungan’ adalah ungkapan rasa syukur kepada alloh swt atas rahmat yang diberikanNya dengan memberikan sebagian rizki kepada sanak family,tetangga,kolega dan lebih utama kepada fakir miskin yang tentunya harus didasari ihlas karena alloh swt.

Saling berbagi kebahagian dengan orang lain merupakan sunah nabi SAW dan para nabi sebelumnya.Dalam sejarahnya,kita mengenal nabi Ibrohim AS dimana untuk makan saja beliau rela mencari orang untuk berbagi dan menemaninya makan walau orang tersebut berada jauh dari tempatnya.Itulah sebabnya kenapa beliau diberi gelar ‘Bapaknya para tamu’.Dia mengundang itu dengan niat untuk memberikan kesenangan kepada orang-orang mukmin,menebarkan rasa ingin memiliki kebaikan dan menggembirakan hati saudara-saudaranya.

Pada zaman sekarang ini, seharusnya kita mencontoh perbuatan nabi Ibrahim AS tersebut dengan tanpa ada tendensi yang lain dibalik semua itu yang semata-mata hanya untuk memberikan kegembiraan kepada orang lain yang merupakan salahsatu perintah dari Alloh swt. Undangan yang hadir merupakan tamu yang harus kita muliakan,sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW ‘’Barang siapa yang beriman kepada Alloh swt dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya’ (HR.Bukhori Muslim).

Karenanya tentu tidak patut bagi kita bila yang kita undang dalam acara resepsi adalah orang-orang yang kaya atau mampu saja dengan tidak menyertakan fakir miskin dan bila ini terjadi oleh nabi SAW disebut sebagai ‘Sarrutto’am’ yaitu seburuk-buruknya makanan.Begitu juga akan tampak kesombongan darinya karena telah membeda-bedakan status manusia karena harta kekayaan semata padahal Alloh swt tidak pernah membedakan manusia kecuali kualitas taqwanya.

Membanggakan diri dan sombong dalam mengundang tamu merupakan perbuatan yang tidak terpuji dan sangat dibenci oleh alloh swt karenanya acara resepsi seharusnya dijadikan sebagai rasa syukur kita kepada alloh swt. Dengan ‘punjungan’ dan atau menjamu tamu undangan sepatutnyalah tanpa tendensi apapun sehingga pelaksanaanya berdasarkan kemampuan saja tanpa menilai untung dan rugi ataupun mengharap pemberian dari tamu undangan baik itu ‘amplop’ maupun kado atau yang lainnya.

Bila undangan tersebut memang murni untuk berbagi kebahagiaan maka bagi seorang muslim wajib untuk memenuhinya ketika tidak ada halangan yang mengharuskannya tidak bisa hadir sebagaimana sabda nabi saw yang diriwayatkan oleh Muslim yaitu ‘man du’iya falyujib’ yang artinya ‘barang siapa diundang maka penuhilah undangan itu’.

Dari sini,tentunya budaya ‘punjungan’ tidak akan menjadi beban kepada orang lain ataupun undangan baik secara lisan dan tulisan akan menjadi sebuah budaya menarik dengan menebarkan kebahagian bagi orang lain,dan kalaupun tidak mampu untuk berbuat seperti itu maka bukanlah sesuatu kewajiban yang harus dilaksanakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar