By : Abdul Rohim
Pringsewu,19 Mei 2012 pkl.1939
Punjungan
diartikan sebagai pemberian makanan dari orang yang mengadakan acara berupa
resepsi pernikahan,tasyakuran kelahiran anak,ketika anak di sunat ataupun acara
yang lainnya.Yang paling banyak adalah ketika akan dilaksanakan resepsi
pernikahan. biasanya di kampung saya selain berupa surat undangan pun dikirimkan makanan yang
sudah dibungkus kantong plastic (Brengkes).Kalau hubungan kekerabatan nya lebih
dekat atau dituakan menurut yang punya acara maka biasanya makanan tersebut
dimasukan rantang.
Budaya
ini mungkin sudah ada sejak zaman dahulu dimana masyarakat pedesaan begitu
kental dengan budaya gotong royong,tolong menolong dan menghormati orang yang
dituakan.Begitupun kita bisa melihat pada lebaran dimana sebelum lebaran tiba,
anak-anaknya memberikan sesuatu kepada orang tua baik itu berupa
makanan,kue,baju ,sarung ataupun yang lainnya.yang jelas,saling berbagi
kebahagian adalah budaya yang ada dimasyarakat kita.
Dis-orientasi
Seiring
dengan perkembangan zaman dimana masyarakat semakin padat dan jangkauan yang
luas pun bisa ditempuh dengan cepat maka
budaya ‘punjungan’ ini semakin marak.Mungkin telah terjadi pergeseran orientasi dimana
kalau dahulu berorientasi pada ungkapan rasa syukur atas rahmat tuhan akan
tetapi sekarang cenderung kepada ‘bisnis’,bermewah-mewahan dan cenderung
dipaksakan.
Ini
dapat dilihat bagaimana masyarakat sering mengeluh bila mendapat punjungan
karena dengan punjungan berarti dia harus menyiapkan anggaran untuk memberikan
sekedar ‘amplop’ untuk membantu acara resepsi itu.Kadang sebulan bisa lima
bahkan kalau daerahnya padat bisa lebih dari itu. Bagi orang yang mampu mungkin
semacam itu tidak menjadi masalah tapi bagi orang yang untuk membeli kebutuhan
pokok saja merasa kesulitan maka ini akan begitu bermasalah karena bisa kita
bayangkan untuk mendapatkan uang sebesar itu perlu satu hari kerja,itupun kalau
ada yang memperkerjakan.
Ditambah
lagi seakan-akan menjadi kewajiban untuk hadir bila sudah dipunjung karena
kalau tidak hadir ada efek psikologis tersendiri seperti rasa malu.Di sisi
lain,bila hanya berupa undangan baik secara lisan maupun tulisan maka
seakan-akan tidak wajib untuk hadir atau terserah dia apakah mau hadir ataukah
tidak.Karenanya masyarakat ditempat saya memberikan julukan tersendiri terhadap
punjungan ini dengan sebutan budaya ‘Tonjokan’ (Pukulan) dimana seakan-akan
pemberian ‘brengkes’ ini merupakan bentuk pukulan kepada anggaran keuangan
mereka.
Dalam
masyarakat kita pun budaya ‘punjungan’ seakan-akan menjadi hutang tersendiri
dimana hutang itu harus dibayar.Setiap ‘amplop’ yang ada,ataupun kado yang
pernah diberikan bagi sebagian orang pasti ditulis dalam buku catatan
tersendiri sebagai landasan seberapa besar nanti dia harus mengembalikan.
Sekarang
memang begitu mudah untuk mengadakan acara-acara besar seperti resepsi
pernikahan karena banyak warung-warung atau toko-toko yang bersedia memberikan
bantuan terlebih dahulu berupa keperluan yang dibutuhkan sedangkan pembayaran
nya bisa selesai acara tersebut.Dari sinilah,mau atau tidak mau menjadi semacam
ajang bisnis dimana untung dan rugi menjadi orientasi utamanya.
Kecendrungan
acara resepsi yang begitu dipaksakan pun terjadi tanpa menilai kemampuan yang
ada sehingga selesai acara tinggal menghitung hutang yang harus dibayar.Kalau
yang datang sesuai prediksi mungkin tidak menjadi masalah akan tetapi kalau
undangan yang hadir sedikit,nah disinilah masalahnya dimana dia harus membayar
jamuan yang sudah dihidangkan walaupun sisa jamuan tersebut masih banyak.
Mungkin
sudah menjadi budaya masyarakat kita dimana meramaikan acara resepsi sebagai sebuah
keharusan dan bentuk kecintaan kepada anaknya dan bisa juga sebagai prestige yang mampu membanggakan dia
ditengah-tengah masyarakat.semakin besar resepsi tersebut,semakin mewah
acaranya dan semakin banyak kendaran mewah yang berjajar di parkiran maka
semakin tinggilah reputasinya.
Memang
tidak ada salahnya mengumumkan pernikahan ini dalam bentuk resepsi karena nabi
pun pernah memerintahkan supaya mengumumkan pernikahan walau hanya dengan
memotong se ekor kambing,tapi bila orientasi telah jauh dan menyimpang dari
ajaran yang ditentukan seperti supaya dipuji,bermewah-mewahan,atau pun niatan
jelek lainnya tentu ini tidak dibenarkan.
Dari
sini,bisa dikatakan bahwa itulah fenomena yang terjadi pada sebagian masyarakat
kita dimana telah terjadi pergeseran orientasi tentang budaya ‘punjungan’ ini
yang cenderung diartikan pemaksaan,beban dan hutang yang harus dibayar.
Perlunya Re-Orientasi
Pada
dasarnya budaya ‘Punjungan’ adalah ungkapan rasa syukur kepada alloh swt atas
rahmat yang diberikanNya dengan memberikan sebagian rizki kepada sanak
family,tetangga,kolega dan lebih utama kepada fakir miskin yang tentunya harus
didasari ihlas karena alloh swt.
Saling
berbagi kebahagian dengan orang lain merupakan sunah nabi SAW dan para nabi
sebelumnya.Dalam sejarahnya,kita mengenal nabi Ibrohim AS dimana untuk makan
saja beliau rela mencari orang untuk berbagi dan menemaninya makan walau orang
tersebut berada jauh dari tempatnya.Itulah sebabnya kenapa beliau diberi gelar
‘Bapaknya para tamu’.Dia mengundang itu dengan niat untuk memberikan kesenangan
kepada orang-orang mukmin,menebarkan rasa ingin memiliki kebaikan dan
menggembirakan hati saudara-saudaranya.
Pada
zaman sekarang ini, seharusnya kita mencontoh perbuatan nabi Ibrahim AS
tersebut dengan tanpa ada tendensi yang lain dibalik semua itu yang semata-mata
hanya untuk memberikan kegembiraan kepada orang lain yang merupakan salahsatu
perintah dari Alloh swt. Undangan yang hadir merupakan tamu yang harus kita
muliakan,sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW ‘’Barang siapa yang beriman kepada
Alloh swt dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya’ (HR.Bukhori
Muslim).
Karenanya
tentu tidak patut bagi kita bila yang kita undang dalam acara resepsi adalah
orang-orang yang kaya atau mampu saja dengan tidak menyertakan fakir miskin dan
bila ini terjadi oleh nabi SAW disebut sebagai ‘Sarrutto’am’ yaitu
seburuk-buruknya makanan.Begitu juga akan tampak kesombongan darinya karena
telah membeda-bedakan status manusia karena harta kekayaan semata padahal Alloh
swt tidak pernah membedakan manusia kecuali kualitas taqwanya.
Membanggakan
diri dan sombong dalam mengundang tamu merupakan perbuatan yang tidak terpuji
dan sangat dibenci oleh alloh swt karenanya acara resepsi seharusnya dijadikan
sebagai rasa syukur kita kepada alloh swt. Dengan ‘punjungan’ dan atau menjamu
tamu undangan sepatutnyalah tanpa tendensi apapun sehingga pelaksanaanya
berdasarkan kemampuan saja tanpa menilai untung dan rugi ataupun mengharap
pemberian dari tamu undangan baik itu ‘amplop’ maupun kado atau yang lainnya.
Bila undangan
tersebut memang murni untuk berbagi kebahagiaan maka bagi seorang muslim wajib
untuk memenuhinya ketika tidak ada halangan yang mengharuskannya tidak bisa
hadir sebagaimana sabda nabi saw yang diriwayatkan oleh Muslim yaitu ‘man du’iya falyujib’ yang artinya ‘barang siapa diundang maka penuhilah
undangan itu’.
Dari
sini,tentunya budaya ‘punjungan’ tidak akan menjadi beban kepada orang lain
ataupun undangan baik secara lisan dan tulisan akan menjadi sebuah budaya menarik
dengan menebarkan kebahagian bagi orang lain,dan kalaupun tidak mampu untuk
berbuat seperti itu maka bukanlah sesuatu kewajiban yang harus dilaksanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar